Virus polio yang ditemukan dapat berupa virus polio vaksin/sabin, Virus polio liar/WPV (Wild Poliovirus) dan VDPV (Vaccine Derived Poliovirus). VDVP merupakan virus polio vaksin/sabin yang mengalami mutasi dan dapat menyebabkan kelumpuhan.
Polio dapat menyerang pada usia berapa pun, tetapi polio terutama menyerang anak-anak di bawah usia lima tahun. Pada awal abad ke-20, polio adalah salah satu penyakit yang paling ditakuti di negara-negara industri, melumpuhkan ratusan ribu anak setiap tahun. Pada tahun 1950an dan 1960an polio telah terkendali dan praktis dihilangkan sebagai masalah kesehatan masyarakat di negara-negara industri. Hal ini setelah pengenalan vaksin yang efektif.
Pada 1988, sejak Prakarsa Pemberantasan Polio Global dimulai, lebih dari 2,5 miliar anak telah diimunisasi polio. Sekarang masih terdapat 3 negara endemis yang melaporkan penularan polio yaitu Afganistan, Pakistan dan Nigeria.
Pada Juni 2018, dilaporkan adanya kasus polio di negara tetangga Papua New Guinea, sehingga diperlukan adanya peningkatan kewaspadaan dini terhadap masuknya virus polio ke Indonesia.
Gejala, Tanda dan Masa Inkubasi
Masa inkubasi virus polio adalah 3-6 hari, dan kelumpuhan terjadi dalam waktu 7-21 hari. Kebanyakan orang terinfeksi (90%) tidak mengalami gejala atau hanya menampilkan gejala yang sangat ringan. Pada kondisi lain, gejala awal yaitu demam, kelelahan, sakit kepala, muntah, kekakuan di leher dan nyeri di tungkai.
Adapun gejala Penderita polio dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu :
- Polio non-paralisis dapat menyebabkan muntah, lemah otot, demam, meningitis, letih, sakit tenggorokan, sakit kepala serta kaki, tangan, leher dan punggung terasa kaku dan sakit
- Polio paralisis menyebabkan sakit kepala, demam, lemah otot, kaki dan lengan terasa lemah, dan kehilangan refleks tubuh.
- Sindrom pasca-polio menyebabkan sulit bernapas atau menelan, sulit berkonsentrasi, lemah otot, depresi, gangguan tidur dengan kesulitan bernapas, mudah lelah dan massa otot tubuh menurun.
Cara Penularan
Polio menyebar melalui kontak orang ke orang. Ketika seorang anak terinfeksi virus polio liar, virus masuk ke dalam tubuh melalui mulut dan berkembang biak di usus. Ini kemudian dibuang ke lingkungan melalui feces yang dapat menyebar dengan cepat melalui komunitas, terutama dalam situasi kebersihan dan sanitasi yang buruk. Virus tidak akan rentan menginfeksi dan mati bila seorang anak mendapatkan imunisasi lengkap terhadap polio. Polio dapat menyebar ketika makanan atau minuman terkontaminasi oleh feses. Ada juga bukti bahwa lalat dapat secara pasif memindahkan virus polio dari feses ke makanan. Kebanyakan orang yang terinfeksi virus polio tidak memiliki tanda-tanda penyakit dan tidak pernah sadar bahwa mereka telah terinfeksi. Orang-orang tanpa gejala ini membawa virus dalam usus mereka dan dapat “diam-diam” menyebarkan infeksi ke ribuan orang lain.
Penegakan Diagnosis
Kasus AFP (Acute Flaccid Paralysis) adalah semua anak kurang dari 15 tahun dengan kelumpuhan yang sifatnya flaccid (layuh), proses terjadi kelumpuhan secara akut (kurang 14 hari), serta bukan disebabkan oleh ruda paksa.
Hot case adalah kasus-kasus yang sangat menyerupai polio yang ditemukan kurang dari 6 bulan sejak kelumpuhan dan spesimennya tidak adekuat perlu dilakukan pengambilan sampel kontak. Kategori hot case dibuat berdasarkan kondisi spesimen yang tidak adekuat pada kasus yang sangat menyerupai polio.
Hot case cluster adalah 2 kasus AFP atau lebih, berada dalam satu lokasi (wilayah epidemologi), beda waktu kelumpuhan satu dengan yang lainnya tidak lebih dari 1 bulan.
Kasus polio pasti (confirmed polio case) : kasus AFP yang pada hasil laboratorium tinjanya ditemukan virus polio liar (VPL), cVDPV, atau hot case dengan salah satu specimen kontak VPL/VDPN
Kasus polio kompatibel : kasus polio yang tidak cukup bukti untuk diklasifikasikan sebagai kasus non polio secara laboratoris (virologis) yang dikarenakan antara lain a) specimen tidak adekuat dan terdapat paralisis residual pada kunjungan ulang 60 hari setelah terjadinya kelumpuhan, b) specimen tidak adekuat dan kasus meninggal atau hilang sebelum dilakukan kunjungan ulang 60 hari.
Kasus polio kompatibel hanya dapat ditetapkan oleh kelompok kerja ahli surveilans AFP nasional berdasarkan kajian data/dokumen secara klinis atau epidemologis maupun kunjungan lapangan.
Penatalaksanaan
Tidak ada obat untuk polio, yang ada hanya perawatan untuk meringankan gejala. terapi fisik digunakan untuk merangsang otot dan obat antispasmodic diberikan untuk mengendurkan otot-otot dan meningkatkan mobilitas. Meskipun ini dapat meningkatkan mobilitas, tapi tidak dapat mengobati kelumpuhan polio permanen. Apabila sudah terkena Polio, tindakan yang dilakukan yaitu tatalaksana kasus lebih ditekankan pada tindakan suportif dan pencegahan terjadinya cacat, sehingga anggota gerak diusahakan kembali berfungsi senormal mungkin dan penderita dirawat inap selama minimal 7 hari atau sampai penderita melampaui masa akut. Penemuan dini dan perawatan dini untuk mempercepat kesembuhan dan mencegah bertambah beratnya cacat. Kasus polio dengan gejala klinis ringan di rumah, bila gejala klinis berat diruju ke RS.
Faktor Risiko Kejadian Polio
- Data cakupan imunisasi polio, di tingkat puskesmas, desa terjangkit dan desa sekitar beresiko selama 3-5 tahun terakhir, dan tata laksana rantai dingin vaksi
- Frekuensi pelayanan imunisasi masyarakat setempat
- Ketenagaan, ketersediaan vaksin dan kualitas vaksin diantaranya penyimpanan vaksin dan kontrol suhu penyimpanan
- Daerah kumuh atau padat atau daerah pengungsi
- Mobilitas penduduk dari dan ke daerah endemis poliomyelitis
- Kontak adalah anak usia kurang dari 5 tahun yang berinteraksi serumah atau sepermainan dengan kasus sejak terjadi kelumpuhan sampai 3 bulan kemudian.
Faktor Risiko terhadap Kelumpuhan
Belum diketahui mengapa hanya sebagian kecil infeksi menyebabkan kelumpuhan. Beberapa faktor risiko utama yang diidentifikasi yang meningkatkan kemungkinan kelumpuhan pada seseorang yang terinfeksi polio, seperti diantaranya defisiensi imun, kehamilan, pengangkatan amandel (tonsilektomi), suntikan intramuscular misalnya obat-obatan, olahraga berat dan cedera.
Cara Pencegahan
Imunisasi merupakan tindakan yang paling efektif dalam mencegah penyakit polio. Vaksin polio yang diberikan berkali-kali dapat melindungi seorang anak seumur hidup. Pencegahan penyakit polio dapat dilakukan dengan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pemberian imunisasi polio pada anak-anak. Pencegahan penularan ke orang lain melalui kontak langsung (droplet) dengan menggunakan masker bagi yang sakit maupun yang sehat. Selain itu mencegah pencemaran lingkungan (fecal-oral) dan pengendalian infeksi dengan menerapkan buang air besar di jamban dan mengalirkannya ke septic tank.
Pencegahan dengan Vaksin Polio
Pencegahan polio dapat dilakukan dengan melakukan imunisasi polio. Vaksin polio mampu memberikan kekebalan terhadap penyakit polio dan aman diberikan kepada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah. Ada dua bentuk vaksin polio, yaitu suntik (IPV) dan obat tetes mulut (OPV).
Vaksin polio untuk anak-anak
Menurut rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tahun 2017, Vaksinasi polio dalam bentuk obat tetes mulut (OPV-0) diberikan kepada bayi sesaat setelah lahir. Selanjutnya, vaksin polio akan diberikan sebanyak empat dosis, baik dalam bentuk suntik (IPV) atau obat tetes mulut (OPV). Jadwal pemberian vaksinasi polio lanjutan pada anak yaitu:
- Dosis pertama (polio-1) diberikan saat usia 2 bulan.
- Dosis kedua (polio-2) diberikan saat usia 3 bulan.
- Dosis ketiga (polio-3) diberikan saat usia 4 bulan.
- Dosis terakhir diberikan saat usia 18 bulan, sebagai dosis penguat.
Vaksin polio juga diberikan kepada orang dewasa yang belum pernah melakukan vaksinasi polio. Vaksin polio untuk dewasa diberikan dalam bentuk suntik (IPV) yang terbagi menjadi tiga dosis. Berikut adalah pembagian dosisnya:
- Dosis pertama dapat diberikan kapan saja.
- Dosis kedua diberikan dengan jeda waktu 1-2 bulan.
- Dosis ketiga diberikan dengan jeda waktu 6-12 bulan setelah dosis kedua.
Pada 19 September 2019, Filipina mengumumkan wabah polio. Dua kasus telah dilaporkan hingga saat ini, keduanya disebabkan oleh Vaccine-derived Poliovirus tipe 2 (VDPV2). Sampel lingkungan yang diambil dari air limbah di Manila pada 13 Agustus dan jalur air di Davao pada 22 Agustus juga telah dinyatakan positif untuk VDPV2.
Kasus pertama dikonfirmasi pada 14 September setelah pengujian oleh Laboratorium Polio Nasional di Institut Penelitian untuk Pengobatan Tropis, Japan National Institute of Infectious Diseases (NIID) dan Center for Disease Control and Prevention(CDC) Amerika Serikat. Pasien kasus adalah seorang gadis berusia 3 tahun dari Lanao del Sur di Filipina selatan. Virus yang diisolasi secara genetik terkait dengan VDPV2 yang sebelumnya diisolasi dari sampel lingkungan di Manila dan Davao. Ini menandakan bahwa virus tersebut beredar.
Kasus kedua dikonfirmasi pada 19 September dan bocah laki-laki berusia 5 tahun dari Provinsi Laguna, sekitar 100 km tenggara Metro Manila. Investigasi dan karakterisasi lebih lanjut dari virus sedang berlangsung.
Vaccine-derived Poliovirus (VDPV) jarang terjadi dalam bentuk poliovirus yang secara genetis berubah dari virus yang dilemahkan yang terkandung dalam vaksin polio oral. Hal ini hanya terjadi ketika virus vaksin dibiarkan menular dari orang ke orang untuk waktu yang lama, yang hanya dapat terjadi di tempat-tempat dengan cakupan imunisasi terbatas dan sanitasi dan kebersihan yang tidak memadai. Seiring waktu, karena ditularkan di antara orang yang tidak diimunisasi, kemudian dapat memiliki kemampuan untuk menyebabkan penyakit kembali. Ketika populasi sepenuhnya diimunisasi dengan vaksin polio oral dan vaksin polio tidak aktif, penularan semacam ini tidak dapat terjadi.
Penting bagi semua negara, khususnya mereka yang sering bepergian dan kontak dengan negara-negara dan wilayah yang terkena dampak polio, memperkuat pengawasan untuk kasus-kasus AFP untuk mendeteksi impor virus dan untuk memfasilitasi cepat tanggap. Negara, teritorial dan wilayah juga harus menjaga cakupan imunisasi rutin yang seragam dan tinggi untuk meminimalkan konsekuensi dari kemungkinan masuknya virus polio. WHO merekomendasikan bahwa semua pelancong dan penduduk di daerah yang terkena polio sepenuhnya divaksinasi terhadap polio.
Sumber:
1. Center for Disease Control and Prevention (2017). Global Health. What Is Polio? Diakses dari https://www.cdc.gov/polio/what-is-polio/index.htm
2. Kementerian Kesehatan RI (2019, September 24). Poliomyelitis (Penyakit Virus Polio). Diakses dari http://infeksiemerging.kemkes.go.id/penyakit-virus/poliomyelitis-penyakit-virus-polio/#.Xb0K5OgzaUm
3. WHO (2019, September 24). Polio outbreak- The Philippine. Disease Outbreak News. Diakses dari https://www.who.int/csr/don/24-september-2019-polio-outbreak-the-philippines/en/
4. Center for Disease Control and Prevention (2018). Vaccines and Preventable Diseases. Who Should Get Polio Vaccine? Diakses dari https://www.cdc.gov/vaccines/vpd/polio/public/index.html#who-needs-polio
Kasus pertama dikonfirmasi pada 14 September setelah pengujian oleh Laboratorium Polio Nasional di Institut Penelitian untuk Pengobatan Tropis, Japan National Institute of Infectious Diseases (NIID) dan Center for Disease Control and Prevention(CDC) Amerika Serikat. Pasien kasus adalah seorang gadis berusia 3 tahun dari Lanao del Sur di Filipina selatan. Virus yang diisolasi secara genetik terkait dengan VDPV2 yang sebelumnya diisolasi dari sampel lingkungan di Manila dan Davao. Ini menandakan bahwa virus tersebut beredar.
Kasus kedua dikonfirmasi pada 19 September dan bocah laki-laki berusia 5 tahun dari Provinsi Laguna, sekitar 100 km tenggara Metro Manila. Investigasi dan karakterisasi lebih lanjut dari virus sedang berlangsung.
Vaccine-derived Poliovirus (VDPV) jarang terjadi dalam bentuk poliovirus yang secara genetis berubah dari virus yang dilemahkan yang terkandung dalam vaksin polio oral. Hal ini hanya terjadi ketika virus vaksin dibiarkan menular dari orang ke orang untuk waktu yang lama, yang hanya dapat terjadi di tempat-tempat dengan cakupan imunisasi terbatas dan sanitasi dan kebersihan yang tidak memadai. Seiring waktu, karena ditularkan di antara orang yang tidak diimunisasi, kemudian dapat memiliki kemampuan untuk menyebabkan penyakit kembali. Ketika populasi sepenuhnya diimunisasi dengan vaksin polio oral dan vaksin polio tidak aktif, penularan semacam ini tidak dapat terjadi.
Penting bagi semua negara, khususnya mereka yang sering bepergian dan kontak dengan negara-negara dan wilayah yang terkena dampak polio, memperkuat pengawasan untuk kasus-kasus AFP untuk mendeteksi impor virus dan untuk memfasilitasi cepat tanggap. Negara, teritorial dan wilayah juga harus menjaga cakupan imunisasi rutin yang seragam dan tinggi untuk meminimalkan konsekuensi dari kemungkinan masuknya virus polio. WHO merekomendasikan bahwa semua pelancong dan penduduk di daerah yang terkena polio sepenuhnya divaksinasi terhadap polio.
Sumber:
1. Center for Disease Control and Prevention (2017). Global Health. What Is Polio? Diakses dari https://www.cdc.gov/polio/what-is-polio/index.htm
2. Kementerian Kesehatan RI (2019, September 24). Poliomyelitis (Penyakit Virus Polio). Diakses dari http://infeksiemerging.kemkes.go.id/penyakit-virus/poliomyelitis-penyakit-virus-polio/#.Xb0K5OgzaUm
3. WHO (2019, September 24). Polio outbreak- The Philippine. Disease Outbreak News. Diakses dari https://www.who.int/csr/don/24-september-2019-polio-outbreak-the-philippines/en/
4. Center for Disease Control and Prevention (2018). Vaccines and Preventable Diseases. Who Should Get Polio Vaccine? Diakses dari https://www.cdc.gov/vaccines/vpd/polio/public/index.html#who-needs-polio
0 Response to "Mengenal Penyakit Polio"
Posting Komentar